
CERITA BERSAMBUNG
" Antara Ekonomi, Syahwat, Penyebaran Penyakit Menular, dan Solidaritas, Menjadi Dilema Tanpa Jalan Keluar"
Oleh : Dentang SKu langkahkan kaki ini menuju sepeda motor yang terparkir dibawah pohon rindang beberapa saat setelah hujan berintensitas sedang yang menyambut ku meneruskan perjalanan menuju kota kelahiran ku. Ya benar, ditengah kesendirian ku membelah dingin udara malam beserta rintik hujan ku lajukan kendaraan ini pelan namun pasti.
Entah karena faktor cuaca atau sepinya malam ini. Samar ku lihat sesosok wanita berparas cantik berdiri sendiri ditepi jalur Pantura ini. Atas dasar penasaran, ku dekati wanita berparas cantik dibalut pakaian seksi nan harum parfum bunga terpancar darinya.
Ku pun mulai membuka pembicaraan ini dengan bertanya, "Mbak, kenapa jam segini kok sendirian di tempat gelap nan dingin?," tanyaku penasaran.
"Saya nunggu pelanggan, mas. Pelanggan yang ingin sekedar pijit biasa maupun pijit plus plus," jawabnya sembari memperkenalkan diri.
"Wah kebetulan, badan saya agak capek, lalu dimana bisa pijitnya?," jelas ku pada nya.
Wanita tersebut pun menunjuk ke belakang sebuah warung yang sepertinya tak terpakai lagi. Sesampainya di warung itu, tanpa babibu basa basi, ku pun segera merebahkan diri di tempat tidur model bambu dan bertelanjang dada. Ku nikmati jengkal demi jengkal pijatan dari tangan halus wanita cantik itu.
Tia, itulah nama wanita 24 tahun, yang harus berjuang sendiri ditengah kerasnya kehidupan dengan hanya bermodalkan paras cantiknya, dia berusaha mengumpulkan pundi pundi rezeki dari tiap orang yang menggunakan jasa pijatnya. Tarif yang terhitung murah dari yang lainnya, pelayanan ramah, dan hasil pijat yang memuaskan para pelanggannya, seakan tak mampu membuatnya tersenyum indah namun terkesan terpaksa untuk berprofesi seperti itu.
Ditengah masa muda yang seharusnya ia nikmati, ia sudah harus pasrah menerima pinangan lelaki yang sudah seperti kakeknya. Terlebih ketika Tia mengetahui jika Almarhum orangtuanya punya hutang yang cukup banyak sebagai biaya pengobatan ibundanya. Tia pun harus pasrah dipinang pria tersebut hingga lahirlah seorang buah hati dari hasil perkawinannya itu. Bayi mungil nan cantik itu lah yang menjadi saksi bagaimana sang ibu berjuang sendiri melawan tekanan bathin dan kenyataan pahit. Bayi perempuan tak berdosa, harus ikut merasakan penderitaan perjuangan sang ibunda ketika ayahandanya harus meregang nyawa dijalan ketika hendak berangkat ke ladang. Bayi mungil nan lucu terlahir dengan proses persalinan secara caesar itulah yang jadi semangat bagi Tia. Tiada lelah dia bekerja sendiri banting tulang demi mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan bayinya.
Bagaimana tidak, Tia harus berjuang bertahan hidup dan mencicil hutang almarhum suaminya pada bank dan koperasi yang tak terhitung total jumlahnya.
"Suami saya wafat dan menyisakan hutang dimana mana, entah sampai kapan hutang itu akan lunas. Hanya senyum indah anak yang membuat semangat saya tak pernah padam. Tempat ini pun diberi oleh almarhum pemiliknya sebagai tanda terima kasih pada saya. Ya…
Terharu dengan cerita yang diungkapkannya, hati ini pun seakan mendesak untuk ku bertanya semua hal tentang kehidupan Tia selama ini.
Tia lahir ke dunia ini dari hasil buah cinta dan kasih sayang pasangan ratmi dan wiryo. Suami istri yang hanya berpenghasilan sebagai buruh tani ini harus memutar otak menyambut kelahiran anaknya. Berbagai cara pun dilakukan mereka untuk kelancaran persalinan. Sementara itu, upah wiryo sebagai anggota kesenian sintren juga tak mampu membayar biaya persalinan rumah sakit. Alhasil, wiryo pun memberanikan diri untuk berhutang kepada seorang saudagar muda yang kelak menjadi suami Tia.
"Permisi, pak. Saya ingin meminjam uang untuk mebiayai persalinan istri saya di rumah sakit," ungkap wiryo dengan harap harap cemas jika maksudnya meminjam uang tak bisa direalisasikan.
"Butuh berapa untuk persalinan istri mu? Lalu apa kau sanggup melunasi hutang dan bunga pinjaman mu itu?," kata sang saudagar.
"Insya Allah saya sanggup melunasinya," jawab wiryo penuh harap.
"Ya sudah ini saya beri 25 juta, untuk persalinan istrimu itu. Tapi ingat. Jika kau tak bisa melunasinya, kelak, jika anak mu lelaki dia harus jadi pembantu ku, namun jika dia perempuan dia harus jadi istri ku kelak," saudagar pun menyanggupi pinjaman uang itu.
Dengan penuh senyum, wiryo pun pamitan pada saudagar tersebut untuk menuju ke rumah sakit dengan membawa uang itu.
Perlahan namun pasti, wiryo lajukan sepeda motor tuanya menuju ke rumah sakit untuk memenuhi biaya persalinan istri tercintanya.
Setibanya di ruang khusus persalinan, ratmi pun menyapa sang suami dengan senyum indahnya.
"Eh bapak, sudah datang. Maaf ya pak, gara gara ibu, bapak jadi harus menanggung beban hutang pada pak juragan," tanya ratmi, penuh haru melihat usaha suaminya.
"Tak apa, bu. Sudah kewajiban bapak mencari biaya buat persalinan ini. Yang penting ibu dan anak kita sehat ya, bu.", ungkap wiryo menutupi perjanjiannya dengan sang saudagar...........bersambung

Berikutnya
« Prev Post
« Prev Post
Artikel Sebelumnya
Next Post »
Next Post »